Naskah yang Hilang, Naskah yang Menang

Ini naskahku yang diikutkan dalam lomba rubrik Gado-gado majalah Femina, bertema ‘rendang’. Naskah ini sebenarnya sempat kuanggap hilang, karena berkali-kali dikirim ke email penyelenggara, tapi selalu ‘kelempar’ lagi. Hal itu kemudian membuatku pasrah. Apalagi waktu mengirimkan naskah sangat-sangat mepet dengan DL, hny 1-2 jam sebelum batas akhir yang ditentukan panitya.

Ketika beberapa waktu kemudian, mendapat kabar, naskah yang hilang itu menjadi juara ke-3, rasanya seperti tidak percaya. Memang sudah takdirnya, naskah yang dianggap hilang itu, kemudian menang. Semakin manis, saat menerima konfirmasi, transferan hadiahnya sudah masuk ke rekening, heeheeee.

RENDANG KETIGA
By: Yoza Yozie

Kuambil secuil bumbu rendang yang masih mendidih di wajan, kucicip, dan, hisssss “asinnya!” rutukku dalam hati. Lagi-lagi rendang ini gagal, setelah rendang sebelumnya, berasa tidak karuan. Cukup melelahkan, mengaduk sekilo daging dalam gelimang santan dan bumbu. Dan, semakin terasa lelah setelah hasil akhirnya jauh dari yang harapan. Kuhapus peluh didahi dan tengkukku. Sepertinya aku perlu duduk manis dulu, sambil berpikir langkah selanjutnya.

Masalahku tergolong rumit, buatku. Sebagai perempuan asli keturunan Minang, aku tidak bisa memasak rendang. Tapi jangan ditanya untuk urusan makannya, aku jagonya. Diantara sekian banyak rendang yang pernah lidahku jajal, memang rendang mama yang paling top. Sayangnya aku tidak mewarisi keahlian mama tersebut.

Masih terngiang kecerewetan mama bertahun lampau, tentang kewajiban seorang istri. Istri harus melayani suami, blaaa…blaaa…, termasuk urusan perutnya. Apalagi untuk gadis Minang, yang akan segera menikah, bisa memasak rendang suatu keharusan. Huffft, buatku saat itu mama berlebihan. Kejadian itu hanya beberapa minggu sebelum pernikahanku. Dan, itu merupakan ‘ceramah’ mama yang kesekian kali dengan topik yang sama. Gara-gara rasa malas lebih berkuasa, sampai hari pernikahanpun, tak satu jenis masakanpun yang aku kuasai, apalagi rendang.

Rendang, ibu dari masakan di Minang. Rasa rendang di daerah Minang, berbeda dengan rendang di daerah lain. Aku pernah mencicip rendang bikinan teman yang asli Betawi, rasanya cenderung manis. Pernah juga aku cicipi rendang bikinan teman, yang asli Jawa. Rendangnya masih basah dengan gelimang bumbu dan santan. Kalau di Minang rendang temanku ini, bernama kalio, atau baru calon rendang. Pernah juga ada temanku yang asli Batak, promosi rendangnya ‘eunak’. Pas dicoba, enak, tapi tetap yang ini namanya belum rendang, sedikitlah diatas kalio. Tentunya ada penyesuaian lidah, karena selera masing-masing suku itu unik. Sedangkan rendang yang beredar di resto Padang di Jakarta, sudah banyak modifikasi. Biar bisa diterima oleh banyak lidah dari aneka suku. Namun bagaimanapun, rendang memang sudah menasional. Dan sebagai orang ‘awak’, yang memiliki resep awal si rendang, bolehlah aku berbangga.

Walaupun aku penikmat sejati rendang, namun karena lama menetap di Jakarta, lidahku sudah menyesuaikan dengan aneka rasa rendang. Kalau lagi pengen, tinggal jalan ke resto Padang, atau DO ke resto langgananku. Bila benar-benar kangen, aku akan telpon mama, minta dikirimin rendang bikinannya. Dan hebatnya rendang, sekalipun dua-tiga hari perjalanan, Padang-Jakarta, rendang tetap awet. Mungkin karena rendangnya kering dan santannya sudah menjadi minyak. Hikss…, mendadak aku kangen mama, juga kangen rendangnya. Sayang mama sudah beberapa waktu ‘pergi’ untuk selamanya. Huaahaaaaa, nangis bombay juga deh.

Kenapa aku mendadak concern sama urusan rendang? Tidak lain, karena permintaan mertua, yang juga asli Minang. Untuk lebaran haji kali ini, mama mertua minta aku masak rendang. Catat! Rendang yang asli bikinanku, bukan pesan dari resto langganan, seperti tiap lebaran aku lakukan. Suami memintaku untuk mencoba dulu. “Kalau gagal, bolehlah dipesan lagi,” katanya membujukku. Demi menyenangkan suami, akhirnya aku cobalah ‘marandang’. Berbekal buku resep masakan peninggalan mama, jungkir baliklah aku di dapur. Dan hasilnya, dua kali nyoba, rendangku gatot alias gagal total.

Setelah merenung lama, akhirnya kuputuskan menghubungi Itje, satu-satunya adik perempuanku. Itje mewarisi keahlian memasak mama, karena dia tidak semalas aku belajar masak. Sejak mama tiada, bila kangen rendang mama, aku suka minta dibuatkan Itje. Tidak benar-benar mirip, tapi cukuplah buat obat kangen. Overall, enaklah rendang Itje, rendang rang Minang.

Waktuku sudah mendekati limit, besok rendangku sudah harus terhidang. Malam itu, aku lembur di dapur. Dengan buku resep mama, plus catatan kecil dari Itje, kumulai membuat rendang ketiga dalam dua hari ini. Kesungguhan berbuah manis juga. Tadaaaa…saat rendangku matang, suami adalah pencicip pertama, dan katanya, “enak!” Kutarik nafas lega, akhirnya aku siap dengan rendang buatanku sendiri. Walau bauku sudah tidak karuan, campuran keringat dan bau bumbu, namun hatiku puas. Dan lebih dari itu, perasaanku sekarang sempurna sebagai seorang perempuan Minang.